analisis novel van der wijck



ANALISIS NOVEL
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”
Karya HAMKA









Oleh
Azizah Rahmawati
XI MIPA 1 / 17031



SMA NEGERI 2 MALANG
Jl. Laksamana Martadinata 84 Malang,
telepon (0341)366311-364357 Fax. (0341)366311/364357 ext. 106
Website : www.smandaku.com
2016 / 2017





Sinopsis :
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Di wilayah Mengkasar, di tepi pantai, antara Kampung Baru dan Kampung Mariso ada sebuah rumah bentuk Mengkasar. Di sanalah hidup seorang pemuda berumur  19 tahun bernama Zainuddin. Saat ia termenung, ia teringat pesan ayahnya ketika akan meninggal. Ayahnya mengatakan bahwa negeri aslinya bukanlah Mengkasar. Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian ayahnya menyusul ibunya. Ia diasuh Mak Base. Pada suatu hari, Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi. Sampai di Padang Panjang, Zainuddin langsung menuju Batipuh. Sesampai di sana, dia sangat senang, tapi lama-lama kabahagiaannya itu hilang karena dia masih dianggap orang asing, dianggap orang Bugis, orang Mengkasar. Betapa malang dirinya, karena di negeri ibunya ia juga dianggap orang asing, orang Padang. Ia pun jenuh hidup di padang, dan saat itulah ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya berdebar, menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari surat-menyurat, mereka pun menjadi semakin dekat dan akhirnya saling suka. Kabar kedekatan mereka tersebar luas dan menjadi bahan gunjingan semua orang Minang. Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal itu menjadi aib bagi keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati, dengan alasan demi kebaikan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh.
Zainuddin pindah ke Padang Panjang dengan berat hati. Hayati dan Zainuddin berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat. Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang. Dia menginap di rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh Aziz kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati. Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Hal itu bersamaan pula dengan datangnya rombongan dari pihak Aziz yang juga hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih terpandang.
Zainuddin sangat sedih menerima penolakan tersebut. Setelah pernikahan Hayati, Zainuddin jatuh sakit. Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal masyarakat dengan nama letter “Z”. Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, dan ia pun akhirnya menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang dermawan. Hayati dan Aziz juga pindah ke Surabaya. Semakin lama watak asli Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari kontrakan, dan secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin. Mereka menumpang di rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz. Yang pertama berisi surat perceraian untuk Hayati, yang kedua berisi surat permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya. Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih merasa sakit hati, Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke kampung halamannya saja. Esok harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck.
Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati tentang perasaan cinta Hayati kepada Zainuddin. Maka segeralah ia hendak menyusul Hayati ke Jakarta. Saat akan berangkat, tersiar kabar bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika Zainuddin langsung kaget, dan langsung pergi ke Tuban bersama Muluk untuk mencari Hayati. Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang terbaring lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin. Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Dia dikubur bersebelahan dengan pusara Hayati.

Unsur Intrinsik Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

I. Tema:
Novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini bertema tentang cinta yang sejati, tulus, dan cinta yang setia. Tetapi tidak dapat dipersatukan dan tak tersampaikan karena tradisi adat Minangkabau yang begitu mengikat dan terlalu mendiskriminasi adat lainnya pada saat itu. Selain itu, novel karya Hamka ini juga bertema kisah perjalanan dan perjuangan seseorang bernama Zainudin dalam meraih kesuksesannya.
Bukti, ““Zainudin bukan mencintai saya sebagai mana engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengambil saya jadi istrinya.” “Mana bisa jadi, Gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan.” “Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainudin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?” “Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukankah kau sembarang orang, bukan tampan Zainudin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikain langsung, dan engkau beroleh anak, kemamakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dangan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tidak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”…” halaman 61


II. Alur
Dalam novel yag berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan maju mundur. Penulis awalnya menceritakan kondisi Zainuddin, kemudian menceritakan masa lampau dimana Zainuddin belum lahir, kemudian kembali ke masa sekarang lagi dan kemudian berlanjut ke kisah kehidupan Zainuddin. Ada lima tingkatan alur, yaitu:

1.      Tahap Pengenalan
 “…Di tepi pantai, di antara kampung Bara dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang diri menghadapkan mukanya ke laut. Meskipun matanya terbentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam di lautan Makasar, rupanya pikirannya telah melayang jauh sekali, ke balik yang tak tampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal. …” (Halaman 10)
2.      Tahap Konflik
 “…Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan jujur diantara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarkan dalam dudun kecil itu. Di dusun belumlah orang dapat memandang kejadian ini dengan penyelidikan yang seksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah bahwa Hayati, kemenakan Dt…...telah berintaian bermain mata, berkirim-kirim surat dengan anak orang Mengkasar itu. Gunjing, bisik dan desus perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan anak muda-muda yang duduk di pelatar lepau petang hari. Hingga akhirnya telah menjadi rahasia umum. Orang-orang perempuan berbisik-bisik dipancuran tempat mandi, kelak bila kelihatan Hayati mandi di sana, mereka pun berbisik dan mendaham, sambil melihat kepadanya dengan sudut mata. Anak-anak muda yang masih belum kawin dalam kampung sangat naik darah. Bagi mereka adalah perbuatan demikian merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung tak berpenjaga. Yang terutama sekali yang dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Dt…yang dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat malu, melangkahi kepala ninik-mamak. …” (Halaman57)
3.      Tahap Peningkatan Konflik
 “Kalau dia tertolak lantaran dia tidak berwang maka ada tersedia wang Rp 3.000,- yang dapat dipergunakan untuk menghadapi gelombang kehidupan sebagai makhluk yang tawakkal. …” (halaman 109)
“ kini hidup Zainudin telah sukses. Namun hal itu bertolak belakang dengan kehidupan aziz. Suatu hari Aziz bertemu dengan Zainuddin dan kemudian menumpang rumah di rumah Zainuddin.. kedatangan mereka diterima oleh Zanuddin dan muluk dengan hati suci, penerimaan sahabat kepada sahabatnya.” ( Halaman 171)

4.      Tahap Klimaks
Aziz meminta Zainuddin untuk menikah dengan Hayati. Walaupun Zainuddin masih mencintai Hayati, namun karena rasa sakit  hati yang mendalam, akhirnya Zainuddin menolak permintaan tersebut dan memutuskan memulangkan Hayati ke kampung halaman menggunakan Kapal Van Der Wijck. Uraian tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“…Bila terjadi akan itu, terus dia berkata: “Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal… Negeri Minangkabau beradat!... Besok hari Senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu ke kampungmu. …” (Halaman 187)
”Di pagina pertama, dengan huruf yang besar-besar telah bertemu perkabaran “KAPAL VAN DER WIJCK TENGGELAM”. Dia terhenyak di tempat duduknya, badannya bergetar, dan perkabaran itu dibacanya terus.” KAPAL VSN DER WIJCK TENGGELAM” dari detik ke detik kapal itu semakin hilang ke dalam dasar lautan.” Halaman 201.



5.      Tahap Penyelesaian
“ oleh seorang juru rawat ditunjukanlah sebuah ranjang, yang disana sedang terbaring seorang perempuan muda yang mukanya telah pucat. Hayati! Kepalanya penuh dengan perban dan kakinya pun demikian pula… masih bernafas” Halaman 204
“Muluk tegak dengan tenang melihat perempuan muda itu melepaskan hidupnya yang penghabisan. Zainuddin bingung dan melihat ke wajah Muluk…Zainuddin tidak dapat menahan hatinya lagi, didekatinya kepala mayat itu, dibarutnya rambut yang bergelung, air matanya membasahi pipi si mayat, ia meniarap laksana seorang budak mencium tangan penghulunya beberapa saat lamanya,…tubuh Zainuddin kian lama kian lemah, dada sesak, pikiran selalu duka dan sesal yang tiada karang…Muluk bercerita,”tidak ku sangka-sangka guruku, sahabatku dan orang yang paling  kucinta itu akan selekas itu meninggalkan saya. …Tengah hari kemarin mayatnya telah dikuburkan didekat kuburan Hayati, orang yang dicintainya itu. …” (Halaman 212)

III. Tokoh dan Penokohan:
1. Zainuddin
Penokohan:
1. Seorang pemuda yang baik hati, Bukti: “Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli sya’ir, yang lebih suka mengalah untuk kepentingan orang lain”. Halaman 27
2. Dermawan, bukti “…wang itu mesti mamak perniagakan sebagai biasa. Yang akan saya bawa hanyalah sekedar ongkos kapal ke Padang. Perniagakan wang itu, ambil untungnya tiap-tiap bulan buat belanja mamak…” halaman 23
3. Alim, “… Hayati! apa yang kulihat kemarin? mengapa telah berubah pakaianmu, telah berubah gayamu? Mana baju kurungmu? Bukankah adinda orang dusun! Saya bukan mencela bentuk pakaian orang kini, yang saya cela ialah cara yang telah berlebih-lebihan, dibungkus perbuatan ‘terlalu’ dengan nama ‘mode’. Kemarin, Adinda pakai baju yang sejarang-jarangnya, hampir separoh dada Adinda kelihatan, sempit pula gunting lengannya, dan pakaian itu dibawa ketengah-tengah ramai. Kakanda percaya, bahwa yang demikian bukan kehendak Hayati yang sejati, Hayati hanya terturut kepada kehendak perempuan zaman kini, padahal kemajuan jauh dari itu. Apakah tujuan kemajuan itu kepada perubahan pakaian sampai begitu, Hayati?
Hayati, kehidupanku! Pakailah pakaianmu yang asli kembali, letakan pakaian dusunmu. Maafkanlah hayati, bahwa Hayati sangat cantik, dan kecantikkannya itu bukannya dibantu pakaian, tetapi ciptaan sejak dia dilahirkan. …” halaman 88
4. hidupnya penuh kesengsaraan oleh cinta, bukti Dia teringat akan dirinya, tak bersuku, tak terhindu, anak orang terbuang, dan tidak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urung tunggang yang berpendam perkuburan, berasap berjeramai didalam negeri Batipuh itu.” Halaman 59
5. Bertawakal, bukti “Kalau dia tertolak lantaran dia tidak berwang maka ada tersedia wang Rp 3.000,- yang dapat dipergunakan untuk menghadapi gelombang kehidupan sebagai makhluk yang tawakkal. …” halaman 118.
6. Perhatian, bukti “ Berangkat lebih dulu encik pulang ke Batipuh, marah mamak dan bu enck kelak jika terlambat benar akan pulang pakaillah payung ini, berangkatlah sekarang juga.” Halaman 24.
7. Suka termenenung, bukti “ meskipun matanya terpentang lebar, meski begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam di lautan mengkasar, rupanya pikiranya telah melayang jauh sekali, ke balik yang tak Nampak di mata, dari mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal.” Halaman 4
8. Tidak berdaya, bukti “dia melangkah, langkahnya tertegun. Di tentang rumah Hayati, sengaja, ditekurkannya kepalanya karena sudah pupus harapannya hendak bertemu bunga harum berpagar duri, yang dari sana penyakitnya dan di sana pula obatnya.” Halaman 57
9. sering putus asa, tetapi cepat bangkit lagi, bukti “ mendengar segala cerita yang keluar dari mulut orang tua itu, mata Zainnudin kembali terbuka, lebih-lebih mendengar perempuan itu menceritakan kebaikan hati muluk yang selama ini hanya berkenalan dari jauh saja dengan dia.” Halaman 115
10. mudah rapuh, bukti “ dilipatnya surat itu baik-baik. Setelah itu dia duduk beberapa saat lamanya. Tidak tentu haluan yang akan diturutnya.” Halaman 113
11. Lemah lembut Bukti: “Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli sya’ir, yang lebih suka mengalah untuk kepentingan orang lain”. Halaman27.
12. Setia, bukti “ demikianpulalah di antara Zainuddin denga Muluk. Sejak dia sakit sampai sembuhnya, tidaklah pernah terpisah lagi di antara kedua orang itu.” Halaman 137.
13. Sederhana, bukti “Dia teringat akan dirinya, tak bersuku, tak terhindu, anak orang terbuang, dan tidak dipandang sah dalam adat Minangkabau.” Halaman 59
2. Hayati  
Penokohan :

1. Cantik, bukti “hayati yang cantik! Yang menerbitkan iri hati dalam kalangan kawan-kawannya.” Halaman 81
2. Penurut, bukti “ bagaimana…. Yang akan baik kata ninik mamak saja… saya menurut!” halaman 106
3. Murah senyum, bukti “ terima kasih tuan, atas budi yang baik itu,” ujar Hayati sambil senyum, senyum bulan kehilang, entah jadi entah tdak. Halaman 25
4.  Mudah kasihan, bukti “ terbangunlah perasaan dari hati Sanubari Hayati melihat nasib anak muda itu” halaman 136
5. Tulus, bukti “ sabar…Zain, cahaya kematian telah terbayang di mukaku! Cuma, jika kumati.. hatiku telah senang, sebab telah kuketahui bahwa engkau masih cinta padaku.” Halaman 206.
6. Setia, bukti “ saya akan berkata terus terang kepadamu, saya akan panggilkan kembali namamu sebagamana dulu pernah saya panggilkan, Zainuddin! Saya akan sudi menanggungkan segenap cobaan yang menimpa diriku itu, asal engkau sudi memaafkan segenap kesalahanku.” Halaman 186
7. Lemah lembut dan rela berkorban, bukti “ karena Hayati adalah seorang lemah lembut yang lebih suka berkorban , harta jiwanya sendiri, darpada mengganggu orang lain.” halaman 169




3. Aziz
Penokohan :

1. Kejam, Bukti: “…..ketika akan meninggalakan rumah itu masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati…..sial”. Halaman 181
2. Suka berjanji, bukti “ sudah sekan lama Tuan Aziz ini dari janji ke janji saja. Saya tidak sabar lagi, akan saya minta pertolongan yang berwajb.” Halaman 170
3. Suka berjudi dan main perempuan, bukti “ dia perg berjud. Kalau da menang, maka uang kemenangan itu dibawanya bersama teman-temannya untuk mencari perempuan.” Halaman 168
4. Jarang pulang, bukti “ kian sehari, kian sebulan, kian nyatalah bahwa kepuasan Aziz hanya diluar rumah. Telah bosan dia di dlam rumahnya, bosan dengan istrinya yang setia.” Halaman 168

4.Khadijah
Penokohan

1. Membela kakaknya, bukti “ dahulu masih ada kepercayaan Hayati mengirim surat mengadukan halnya dan menumpahkan perasaan hatinya kepada khadijah, tetapi akhrnya dia undurkan diri, karena dia  telah tahu bahwa Khadijah berpihak pada saudaranya jua.” Halaman 164
2. Berpendidikan, bukti “ Khadijah orang kota, tinggal di rumah berbentuk kota, kaum kerabatnya pun telah dilingkungi oleh pergaulan dan hawa kota, saudara-saudaranya bersekolah dalam sekoah- sekolah menurut pendidkan zaman baru. “ halamn 71.
3. Tidak beradat, bukti “ pakaan begini tak diadatkan di negeri kita.” Halaman 73.
4. Suka menghina, bukti “ “mengapa terhenti hayati?” Tanya Khadijah sambil melihat tenang-tenang kepada Zainuddin dengan penglihatan menghina.” Halaman 75
5. Muluk
Penokohan :

1. Motivator, “ tenaga mudamu, darahmu yang masih panas, kepalamu yang masih sanggup bertempur dengan peri penghidupan telahdirampas dan dirusakbinasakan oleh perempuan itu. Jangan mau guru ! Guru mesti tegak kembali. Langkahkan kaki ke medan perjuangan, yang selalu meminta tentara, yang selalu kekurangan serdadu!” halaman 140.
2. Setia, bukti “ tiap- tiap rembukan yang mengenai kepentungan bangsa, menolong orang yang sengsara, pekerjaan amal, senantiasalah Zainuddin atau Shabir jadi ikutan orang banyak. Dan muluk sahabatnya yang setia.”  Halaman 159

6. Mamak hayati
Penokohan:

1. Materialistis, bukti “ setelah kami timbang melarat dan manfaatnya azizlah yang kami terima.” Halaman 105
2. Terlalu mementingkan jabatan. “ hai Hayati! Jangan engkau ukur keadaan kampungmu dengan kitab-kitab yang engkau baca. Percintaan hanyalah khayal dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu dengan pergaulan hidup, cela besar namanya, meruakkan nama, merusakkan ninik mamak. Korong kampong, rumah halaman” halaman 53.
3. Menjungjung tinggi adat, bukti “ tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat mash berdiri dengan kuat,tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas.” Halaman 53










IV. Sudut Pandang
Penulis dalam meceritakan Novel tersebut menggunakan sudut pandang orang ke tiga.
Bukti, “Di tepi pantai, di antara kampong baru dan kampong Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang dirinya menghadapkan mukanya ke laut. Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam di lautan Mengkasar, rupannya oikirannya telah melayang jauh sekali ke balik yang tak tampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal” Halaman 4
V. Latar
~ Tempat
· Mengkasar
“…Di tepi pantai, diantara kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentukMengkasar , yang salah satu jendelanya menghadap kelaut. Disanalah seorang anak muda yang berusia kira-kira 19 tahun duduj termenung seorang dirinya menghadapkan mukanya kelaut. Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam dilautan Mengkasar , rupanya pikirannya telah melayang jauh sekali, kebalik yang tak tampak dimata, dari lautan dunia pindah kelautan khayal.” Halaman 4
· Minangkabau
“Bilamana Zainudin telah sampai ke Padang panjang, Negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke Dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, disanalah negeri ayahnya asli.” Halaman 20
· Jakarta
“Ditinggalkannya Pulau Sumatera, masuk ke Tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampinya di Jakarta, di sewanya sebuah kamar kecil disuatu kampung yang sepi, bersama sahabatnya Muluk.” halaman 145
· Surabaya
“Ajaib, sekian lama di Surabaya, baru sekali ini kita bertemu.” (1961:168)

~ Waktu
· Pagi
“Pagi-pagi, sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian kesawah. Dan sebelum anak-anak muda menyandang bajaknya” Halaman 26
· Siang
“…Demikian seketika lohor hampir habis, orang tua itu pun pulang kerumahnya, diiringi oleh kedua cucunya. Lohor disini adalah waktu dzuhur, waktu yang terjadi pada siang hari.” Halaman 29
· Sore
“Matahari telah hamper masuk ke dalam peraduannya. Dengan amat perlahan, menurutkan perintah dari alam gaib, ia berangsur turun,turun kedasar lautan yang tidak kelihatan ranah tanah tepinya.” Halaman 3
· Malam
“Demikianlah, hampir seluruh malam Hayati karam di dalam permohonan kepada Tuhan” Halaman 36
~ Latar Suasana
· Mengharukan
“ setelah selesai surat itu dibacanya, dilihatnya Muluk kembali, kiranya kelihatan oleh Muluk pipinya telah penuh dengan air mata.” Halaman 200
· Menegangkan
Dia terhenyak di tempat duduknya, badannya gemetar, dan perkabaran itu dibacanya terus” halaman 201

· Menyedihkan
Beberapa menit kemudian dibukanya matanya kembali, di isyaratkan pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah dekat, dibisikkanya: “bacakan dua kalimat suci…di telingaku.”” Halaman 206
VI. Amanat
Ø “Demikian penghabisan kehidupan orang besar itu. Seorang di antara Pembina yang menegakkan batu pertama dari kemuliaan bangsanya; yang hidup didesak dan dilamun oleh cinta. Dan sampai matipun dalam penuh cinta. Tetapi sungguhpun dia meninggal namun riwayat tanah air tidaklah akan dapat melupakan namanya dan tidaklah akan sanggup menghilangkan jasanya. Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi kesenangannya buat orang lain. Buat dirinya sendiri tidak” Halaman 212.
Ø Jika cinta itu tulus dari hati yang sebenarnya, maka cinta itu tidak perlu memaksanakan untuk dimiliki.
Ø Walaupun cinta tak tersampaikan, kita harus tetap menjaga cinta itu dengan baik.
Ø Dalam hidup kita tidak boleh mudah putus asa dan harus selalu memiliki tujuan hidup.
Ø Ikutilah kata hati dan juga dengan pemikiran jika ingin bertindak.
Ø Cinta tak sampai seharusnya bukan akhir dari segalanya.
Ø Cinta dapat membuat orang yang merasakan cinta itu melakukan segalanya untuk orang yang dicintai.
Ø Cinta sejati dan tulus tak lekang oleh waktu.
Ø Sejahat-jahat orang yang mencintai kita, sadarlah bahwa ia tidak pernah membenci kita.
Ø Hidup merupakan pilihan yang harus kita pilih sendiri tujuan hidup
Unsur Ekstrinsik Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

a.    Biografi pengarang
HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di Molek, Meninjau, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908. Ayah beliau bernama Syeh Abdul Karim bin Amrullah (Haji Rasul).Ketika Hamka berumur sepuluh tahun ayahnya membangun Thawalib Sumatra di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar tentang ilmu agama dan bahasa Arab. Disamping belajar ilmu agama pada ayahnya, Hamka juga belajar pada beberapa ahli Islam yang terkenal seperti: Syeh Ibrahim Musa, Syeh Ahmad Rasyid, Sutan Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pada tahun 1927 Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tinggi Medan dan Padang Panjang tahun 1929. tahun 1957-1958 Hamka sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhamadiyah Padang Panjang.Hamka tertarik pada beberapa ilmu pengetahuan seperti: sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Tahun 1929 beliau membangun “Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah” dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatra Barat dan Pada 26 juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia.
Hamka sudah menulis beberapa buku seperti: Tafsir Al-Azhar (5 jilid) dan novel seperti; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Di dalam Lembah Kehidupan dan sebagainya. Hamka memperoleh Doctor Honoris Causa dari Universitas Al- Azhar (1958), Doctor Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (1974) dan pada 24 juli 1981 Hamka meninggal dunia.
b.   Latar belakang penulisannya
Latar belakang pengarang yang hidup dilingkungan agama yang kental sejak kecil memberi pengaruh pada karya sastra yang dihasilkanya. Seperti yang telah disebutkan judul karya satra yang dicipkannya identik dengan agama dan kisah mengenai perjalanan hidup.
c.    Masyarakat yang melihat dari nilai-nilai yang berkembang
1)        Nilai sosial : saling menolong antar sesama
2)        Nilai ekonomi : hemat, berniaga
3)        Nilai budaya : perjodohan
4)        Nilai politik : mempengaruhi orang lain mengikuti suatu kaum
5)        Nilai agama : laki-laki tidak boleh berdekatan dengan wanita


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Lama Mantra. Ciri-ciri,pengertian,macam-macam,dan tujuan